Walaupun Masih Tinggi, Backlog Perumahan di Indonesia Mengalami Penurunan

Loading image...
Oleh Surabaya Prop
February 11, 2024

Backlog kepemilikan rumah di Indonesia masih cenderung tinggi, yaitu sekitar 9,9 juta unit belum teratasi pada tahun 2023. Angka ini sebenarnya menunjukkan penurunan dari 12,75 juta unit pada tahun 2020 seperti yang dicatat oleh Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS).

Istilah "backlog" mengacu pada defisit jumlah perumahan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hunian yang belum terpenuhi.

Selain itu, jumlah rumah tangga yang masih belum mendapatkan akses terhadap hunian layak juga tetap signifikan, mencapai sekitar 26,9 juta rumah tangga pada tahun 2023, meskipun mengalami penurunan dari 29,4 juta pada tahun 2020.

Upaya Pemerintah

Dalam upaya menjaga konsistensi dalam penurunan backlog, Pemerintah mengambil langkah proaktif dengan merilis sejumlah stimulus yang mencakup beragam kebijakan.

Langkah-langkah ini termasuk kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) yang berlaku untuk rumah dengan harga maksimal Rp5 miliar, serta insentif dalam bentuk pembebasan biaya administrasi untuk pengurusan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan nilai hingga Rp4 juta.

Selain itu, terdapat kebijakan pelonggaran rasio Loan to Value (LTV) dan Financing to Value (FTV) untuk kredit atau pembiayaan properti hingga maksimal 100 persen untuk semua jenis properti, bersama dengan kelanjutan dari program kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi dan kebijakan lainnya.

Nixon LP Napitupulu, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN), menyampaikan proyeksi bahwa penjualan rumah diperkirakan akan meningkat sebesar 12 persen year on year (yoy) pada tahun ini seiring dengan implementasi berbagai stimulus tersebut. 

Menurut Nixon, efektivitas stimulus yang diberikan oleh pemerintah telah terbukti, dengan sektor properti tetap menjadi salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Optimisme di Tengah Gejolak Global dan Domestik

Dalam catatannya, setidaknya ada sekitar 12,7 juta keluarga di Indonesia masih terkendala dalam memiliki rumah sendiri, sedangkan sektor pengembang hanya sanggup membangun sekitar 600 ribu hingga 800 ribu unit rumah setiap tahunnya.

Potensi terbesar untuk pengembangan terletak pada segmen rumah sederhana dan sangat sederhana, dengan perkiraan pertumbuhan mencapai angka dua digit pada tahun 2024.

Nixon menyampaikan kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pentingnya menjadikan sektor perumahan sebagai salah satu penggerak utama dalam memacu pertumbuhan ekonomi, dengan fokus pada membantu warga yang masih belum memiliki rumah. Upaya ini akan memiliki dampak positif berantai pada 173 sektor ekonomi terkait.

Meskipun optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi tersebut meningkat, namun perlu diingat bahwa masih ada ancaman dari krisis global yang mempengaruhi stabilitas, seperti ketegangan geopolitik antara Ukraina dan Rusia serta situasi konflik di Timur Tengah.

Potensi gejolak tersebut dapat menyebabkan kenaikan harga komoditas, baik energi maupun pangan, yang berpotensi mengganggu perekonomian dalam negeri. Di samping itu, risiko pelemahan sektor properti di China juga menjadi perhatian tersendiri.

Di tingkat domestik, proses pelaksanaan pemilu berpengaruh terhadap sikap sebagian investor yang cenderung menunggu dan melihat (wait and see) sebelum melakukan ekspansi usaha.

Cicilan Yang Rendah dan Tenor Kredit Hingga 35 Tahun

Dalam upaya inovasi di bidang pembiayaan, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan (DJPI) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah mempertimbangkan untuk mengenalkan skema KPR dengan tenor kredit yang dapat mencapai 35 tahun.

Rencana ini diharapkan akan meningkatkan permintaan pembiayaan rumah di Indonesia, karena akan menawarkan cicilan yang lebih rendah, menurut pernyataan Chief Economist Bank BTN, Winang Budoyo, yang menyambut positif rencana tersebut.

Winang mengemukakan bahwa dari sudut pandang pembiayaan, skema ini perlu didukung dengan program yang memperkuat kemampuan perbankan dalam menyalurkan pembiayaan. 

Menurutnya, opsi suku bunga berjenjang akan menguntungkan baik nasabah maupun bank. Hal ini didukung tren-tren sebelumnya yang menunjukkankemampuan finansial nasabah cenderung meningkat seiring berjalannya waktu.

Rencana pengenalan skema KPR 35 tahun ini merupakan bagian dari langkah bertahap Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait dalam rangka mencapai target eliminasi backlog pada tahun 2045.

Menggapai Target Zero Backlog 2045

Dengan diterbitkannya berbagai stimulus oleh Pemerintah dan peningkatan inovasi dalam skema pembiayaan, minat masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki rumah melalui skema KPR diharapkan akan meningkat.

Pernyataan ini disampaikan oleh Paul Sutaryono, seorang pengamat perbankan dan Staf Ahli di Pusat Studi Bisnis Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), yang juga memberikan dukungan terhadap rencana pengenalan skema KPR dengan jangka waktu 35 tahun.

Meskipun mendukung langkah tersebut, Paul menyoroti pentingnya skema KPR 35 tahun disertai dengan suku bunga yang rendah dan uang muka (down payment) yang minimal atau bahkan nol persen. Menurut Paul, dengan adanya insentif-insentif tersebut, minat MBR diperkirakan akan semakin meningkat untuk memanfaatkan skema KPR.

Data menunjukkan bahwa setiap tahun, angka backlog kepemilikan rumah terus mengalami penurunan, dan para pengamat memperkirakan bahwa minat masyarakat terhadap pembiayaan rumah akan terus meningkat di masa mendatang.

Dengan adanya konsistensi dalam memberikan berbagai stimulus dan peningkatan dalam skema pembiayaan rumah, harapan besar muncul bahwa backlog kepemilikan rumah akan terus menurun secara konsisten. Dengan demikian, tercapainya target zero backlog pada tahun 2045 untuk mendukung visi Indonesia Emas 2045 tidak lagi menjadi hal yang tidak mungkin.

via AntaraNews

Dok. Foto: halorumah.id