Sengketa tanah tidak hanya menjadi urusan antara individu, tetapi juga bisa melibatkan beragam pihak dan lembaga. Penyelesaiannya pun tak selalu mudah, melainkan memerlukan langkah-langkah yang cermat dan tepat. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan sengketa tanah, dan bagaimana kasus-kasusnya di Indonesia?
Sengketa tanah adalah pertikaian yang terjadi terkait kepemilikan atau hak atas suatu tanah atau properti. Dalam konteks sosio-politis, sengketa ini seringkali memiliki implikasi yang luas dan kompleks. Undang-Undang Sengketa Tanah dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Indonesia No. 3 Tahun 2011 memberikan gambaran jelas mengenai hal ini.
Secara khusus, tanah sengketa merupakan lahan yang kepemilikannya dipertentangkan oleh dua pihak atau lebih, di mana saling bersaing untuk mengklaim hak atas tanah tersebut. Perlu dicatat bahwa sengketa tanah tidak hanya terbatas pada lahan secara fisik, tetapi juga bisa mencakup sumber daya alam lainnya seperti hutan, air, atau bahkan udara bersih.
Baca juga: Pahami Prosedur & Syarat Balik Nama Sertifikat Tanah
Ketika terlibat dalam transaksi properti, penting untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap dokumen-dokumen kepemilikan dan sertifikat yang terkait.
Selain itu, pemahaman tentang hak properti serta proses hukumnya menjadi kunci untuk mengatasi permasalahan jika terjadi sengketa. Hal ini pada akhirnya dapat mengurangi risiko masyarakat agar tidak terjerat dalam rumitnya konflik kepemilikan tanah yang memakan waktu, tenaga, dan biaya.
Penanganan sengketa tanah telah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa kasus pertanahan mencakup beragam perselisihan, konflik, atau perkara terkait tanah yang diajukan kepada Kementerian ATR BPN, Kantor Wilayah BPN, atau kantor pertanahan sesuai dengan wewenangnya, untuk mendapatkan penanganan dan penyelesaian sesuai dengan ketentuan hukum.
Adapun jenis kasus pertanahan terbagi menjadi tiga kategori:
Perselisihan antara individu, badan hukum, atau lembaga yang tidak memiliki dampak luas secara sosial-politis.
Perselisihan antara individu, kelompok, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang memiliki kecenderungan atau telah berdampak luas.
Perselisihan yang penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga peradilan.
Lebih lanjut, sengketa tanah sendiri dikelompokkan dalam tiga klasifikasi:
Merupakan pengaduan atau permohonan petunjuk yang bersifat teknis administratif. Penyelesaiannya dapat dilakukan melalui penerbitan surat petunjuk penyelesaian kepada pengadu atau pemohon.
Melibatkan pihak-pihak dengan dimensi hukum dan/atau administrasi yang cukup jelas. Penyelesaiannya melalui pendekatan hukum dan administrasi tidak menimbulkan gangguan sosial, ekonomi, politik, maupun keamanan yang signifikan.
Melibatkan banyak pihak, memiliki dimensi hukum yang kompleks, dan/atau berpotensi menimbulkan gangguan sosial, ekonomi, politik, dan keamanan.
Sengketa tanah seringkali menjadi ranjau penghalang dalam perjalanan kepemilikan properti. Namun, dengan pemahaman dan langkah-langkah yang tepat, penyelesaiannya bisa menjadi lebih mudah. Berikut adalah tips mencegah timbulnya permasalahan dan solusinya jika sudah kejadian.
Langkah awal paling penting adalah memeriksa dengan teliti status lahan yang akan Anda beli. Pastikan bahwa penjual benar-benar memiliki lahan tersebut, dengan memeriksa dokumen kepemilikan seperti Sertifikat Hak Milik (SHM) atau girik.
Jika penjual dapat menunjukkan dokumen seperti sertifikat atau girik, pastikan keabsahan dokumen tersebut. Anda dapat melakukan verifikasi ini dengan mengunjungi Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memastikan bahwa dokumen tersebut sah dan tidak terlibat dalam sengketa tanah.
Selanjutnya, penting untuk memastikan kredibilitas penjual. Jika penjual adalah sebuah perusahaan pengembang, telusurilah rekam jejak perusahaan tersebut. Informasi mengenai perusahaan terbuka dapat Anda temukan dalam data Bursa Efek Indonesia secara online. Jika penjual adalah individu, Anda bisa melakukan penelusuran lebih lanjut dengan bertanya kepada tetangga atau pengurus RT/RW di sekitar lokasi lahan.
Jika Anda mendapati adanya sengketa tanah atau ketidakjelasan dalam proses kepemilikan, langkah terakhir yang dapat Anda tempuh adalah melakukan pengaduan kepada Kantor Kepala Pertanahan setempat.
Pengaduan dapat dilakukan secara tertulis melalui kotak surat, website resmi, atau langsung ke loket pengaduan kementerian. Berkas pengaduan Anda akan diproses oleh kantor pertanahan setempat dan dilanjutkan ke tingkat lebih tinggi sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Di Surabaya sendiri ada banyak kasus terkait sengketa tanah yang cukup menghebohkan hingga melibatkan mafia. Dikutip dari detik.com, berikut adalah beberapa contoh kasus di Surabaya dalam rentan waktu 5 tahun terakhir.
foto via Jatimnow - Republika
Polrestabes Surabaya berhasil membongkar sindikat mafia tanah yang meresahkan. Tiga sosok tersangka terlibat dalam kejahatan besar ini, yakni Samsul Hadi (52), Subagiyo (52), dan Djerman Prasetyawan (49 tahun). Subagiyo, seorang oknum PNS dengan posisi strategis sebagai perangkat kelurahan dan sekretaris kecamatan, menambah kompleksitas kasus ini karena dugaan keterlibatannya dalam sindikat tersebut.
Para pelaku diketahui telah merebut tanah seluas 17,5 hektare dengan nilai mencapai Rp 476 miliar milik seorang warga bernama Ikhsan. Modus operandi mereka terbilang canggih, yakni dengan memalsukan dokumen-dokumen terkait dengan kepemilikan tanah kemudian melancarkan gugatan di pengadilan. Ajaibnya, mereka berhasil meraih kemenangan hingga mengubah status kepemilikan.
Namun, kedok kejahatan mereka terbongkar ketika kantor pertanahan Surabaya melakukan serangkaian proses, mulai dari pengukuran hingga penerbitan peta bidang. Ironisnya, proses ini mengungkap adanya kecurangan tersembunyi dalam dokumen-dokumen yang mereka ajukan, membuka mata publik akan modus-modus operandi seperti ini.
Polrestabes Surabaya mengungkap praktik kejahatan tersebut di kawasan Medokan Ayu, Surabaya, dengan kerugian diperkirakan mencapai Rp 22 miliar. Kisah tragis ini terkuak pada 24 November 2021, saat pihak kepolisian merilis informasi mengenai kasus tersebut.
Satu tersangka berinisial ES, seorang Direktur dari PT Barokah Inti Utama, telah menjadi peran utama dalam menjalankan aksi kriminal ini. PT tersebut mulai beroperasi pada tahun 2015 dengan menawarkan tanah-tanah kosong kepada 223 nasabah dengan harga fantastis, berkisar antara Rp 90 juta hingga 300 juta per kavling. Modus operandi mereka terbilang licik, dengan menggiring para calon pembeli ke lokasi yang direkayasa untuk memberikan kesan meyakinkan.
Tanah yang sebenarnya tidak dimiliki oleh PT tersebut ternyata adalah aset milik seorang warga yang telah meninggal sejak tahun 1979. Ketika kebenaran terungkap, ES melarikan diri, meninggalkan belasan korban dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk PNS dan TNI.
Tersangka kini berhadapan dengan ancaman hukum berat, sesuai dengan Pasal 378 KUHP dan Pasal 372 KUHP tentang Penipuan dan Penggelapan dengan ancaman hukuman penjara maksimal 4 tahun. Kasus ini menjadi satu lagi catatan kelam dalam kronik kejahatan terkait pertanahan di Indonesia yang semakin meresahkan.
Satreskrim Polres Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya berhasil menggulung jaringan kejahatan ini di wilayah Tambak Dalam Kelurahan Asemrowo. Tersangka utama dikenal dengan inisial ADW (56), menjadi pusat perhatian publik setelah kasus ini diumumkan pada 22 Februari.
Modus operandi ADW terbilang licik. Dengan menggunakan dokumen palsu, dia menjual tanah di Tambak Pring/Tambak Dalam tanpa sepengetahuan pemilik asli. Tindakan ini telah meresahkan masyarakat sejak tahun 2017, dengan kerugian mencapai Rp 40 miliar.
Keberhasilan ADW dalam menjalankan aksi kejahatannya tidak terlepas dari kedok legalitas yang dia bangun. Dengan mengajak para calon pembeli ke akta notaris, dia berhasil menutupi jejak kecurangannya. Total tanah yang berhasil dijual mencapai 22 kavling dengan luas total 2200 meter persegi, menunjukkan dampak signifikan dari kegiatan kriminal tersebut.
Tersangka kini harus menghadapi konsekuensi hukum dari perbuatannya. Dengan didakwa berdasarkan Pasal 266 KUHP dan Pasal 385 KUHP, dia berisiko mendekam di balik jeruji penjara selama 7 tahun penuh. Kasus ini memberikan pelajaran amat berharga agar selalu waspada terhadap praktik penipuan dan pemalsuan dokumen dalam transaksi properti.
Sengketa tanah merupakan masalah kompleks antara individu, kelompok, atau lembaga terkait kepemilikan atau hak atas suatu lahan atau properti. Penyelesaiannya memerlukan pemahaman mendalam terhadap peraturan hukum yang berlaku serta langkah-langkah tepat terkait prosesnya.
Dengan adanya landasan hukum dan mekanisme penyelesaian yang jelas, diharapkan sengketa tanah dapat diatasi dengan lebih baik sehingga memberikan kepastian hukum sekaligus mencegah potensi konflik yang merugikan banyak pihak. Selain itu, diperlukan juga kesadaran dan kewaspadaan dari masyarakat dalam melakukan transaksi properti serta memastikan legalitas dan keabsahan dokumen-dokumen terkait.